1.
Tari Tradisional Yogyakarta - Tari Golek Ayun-Ayun
Tari Golek Ayun-ayun yang merupakan
salah satu tarian tradisional Yogyakarta yang diciptakan oleh (Alm) KRT Sasmita
Dipura (Romo Sas).
Tarian ini ditampilkan untuk
menyambut tamu kehormatan dan biasanya dibawakan oleh dua orang penari.
Gerakannya sangat lembut dan penuh makna. seolah sang penari sedang bersolek.
Gerakan yang lain juga memperlihatkan seolah ia tengah menyulam.
Penari golek ayun-ayun mengenakan
balutan baju beludru hitam serasi dipadankan dengan bawahan kain batik putih.
Mahkota merak bersayap merah muda tambah mempercantik penampilan sang penari
Tarian ini dapat disaksikan setiap hari Minggu di Pendapa (Bangsal) Sri
Manganti, Keraton Jogjakarta dari pukul 10.00 WIB sampai dengan 12.00 WIB.
Biasanya ada tiga jenis tarian yang ditampilkan. Tari Golek Ayun-ayun, Beksan
Srikandi Suradewati dan Sendratari Arjuna Wiwaha.
2.
Tari Tradisional Yogyakarta - Tari Beksan Srikandi Suradewati
Tari Beksan Srikandi Suradewati
adalah tari tradisional Yogyakarta yang menceritakan tentang peperangan Dewi
Suradewati dengan Dewi Srikandhi yang diambil dari serat Mahabaratha.
Suradewati adalah adik Prabhu Dasalengkara yang ingin menjadikan Dewi Siti Sendari sebagai istrinya, maka Suradewati diutus oleh kakaknya untuk melamarkan Dewi Siti Sendari untuknya. Pada kenyataannya Dewi Siti Sendari telah dijodohkan dengan Raden Abimanyu. Melihat kenyataan seperti ini, Suradewati tetap memaksa menyunting Dewi Siti Sendari, maka terjadilah perseteruan antara Suradewati melawan Dewi Srikandhi, yang membela Raden Abimanyu. Dalam peperangan, ternyata Dewi Srikandhi lebih unggul dan berakhir dengan kemenangannya.
Suradewati adalah adik Prabhu Dasalengkara yang ingin menjadikan Dewi Siti Sendari sebagai istrinya, maka Suradewati diutus oleh kakaknya untuk melamarkan Dewi Siti Sendari untuknya. Pada kenyataannya Dewi Siti Sendari telah dijodohkan dengan Raden Abimanyu. Melihat kenyataan seperti ini, Suradewati tetap memaksa menyunting Dewi Siti Sendari, maka terjadilah perseteruan antara Suradewati melawan Dewi Srikandhi, yang membela Raden Abimanyu. Dalam peperangan, ternyata Dewi Srikandhi lebih unggul dan berakhir dengan kemenangannya.
3.
Tari Tradisional Yogyakarta - Tari Arjuna Wiwaha
Tarian ArjunaWiwaha adalah salah satu tarian tradisional yang dipentaskan di Keraton Yogyakarta. Tari Arjuna Wiwaha menceritakan ketika Arjuna yang bertapa di Indrakila mengalami berbagai macam godaan.
Salah satu godaannya adalah ketika Ia diuji oleh para Dewa dengan mengirim tujuh orang bidadari yang diperintahkan untuk menggoda Arjuna agar gagal dalam pertapaannya. Namun karena keteguhan hatinya, para bidadari tidak berhasil menggoda Arjuna, maka Indra datang sendiri menyamar menjadi seorang Brahmana tua. Mereka berdiskusi soal agama dan Indra menyatakan jati dirinya dan pergi.
Lalu setelah itu ada seekor babi yang datang mengamuk dan Arjuna memanahnya. Tetapi pada saat yang bersamaan ada seorang pemburu tua yang datang dan juga memanahnya. Ternyata pemburu ini adalah Batara Siwa.
Setelah itu Arjuna diberi tugas untuk membunuh Niwatakawaca seorang raksasa yang mengganggu kahyangan. Arjuna berhasil dalam tugasnya dan diberi anugerah oleh para Dewa dengan diperbolehkan mengawini tujuh bidadari ini.
4.
Tari Tradisional Yogyakarta - Tari Langen Mandra Wanara
Langen Mandra Wanara adalah salah satu bentuk drama tari Jawa yang mempergunakan materitari tradisi klasik gaya Yogyakarta. Drama tari yang menggambarkan banyak wanara (kera) dan berfungsi sebagai hiburan ini merupakan perkembangan dari drama tari yang telah ada, yaitu Langendriya yang bersumber dari Serat Damarwulan. Keduanya, baik Langendriya maupun Langen Mandra Wanara, disajikan dalam bentuk tari dengan posisi jengkeng atau jongkok1) disertai dengan dialog yang berupa tembang macapat. Bedanya, yang sekaligus merupakan perkembangannya, adalah lakon yang dibawakan. Jika lokan yang dibawakan dalam tari drama Langendriya bersumber dari ceritera yang lain, maka Langen Mandra Wanara bersumber dari cerita Ramayana, seperti: Subali Lena, Senggana Duta, Rahwana Gugur, dan lain sebagainya.
Untuk dapat mementaskan Langen
Mandra Wanara dibutuhkan sekitar 45 orang yang terdiri dari 30 orang pemain, 13
orang penabuh gamelan, satu orang waranggana, dan satu orang dalang. Fungsi
dalang adalah sebagai pengatur laku dan membantu para aktor dalam penyampaian
cerita dengan melakukan suluk (monolog). Kostum dan make up yang dipakai selama
pertunjukan mengikuti patron wayang kulit.
Pertunjukan Langen Mandra Wanara
biasanya diadakan pada saat ada upacara-upacara, seperti perkawinan dan
hari-hari besar lainnya. Pertunjukkan yang kurang lebih memakan waktu tujuh jam
ini dilakukan pada malam hari dan biasanya bertempat di pendopo dengan penerangan
lampu petromaks atau listrik. Pertunjukan Langen Mandro Wanara biasanya
dilengkapi dengan alat musik gamelan Jawa lengkap (pelog dan selendro).
Tarian ini diawali dengan tabuhan tibar salah seorang penari dan disusul oleh penari lain. Ketika kekompakan irama telah dicapai maka mereka mulai meliuk-liukkan tubuh ke kiri dan kekanan, terkadang sambil berjongkok dan membentuk formasi tertentu. Para penari pria akan menghentakkan giring-giring kaki mereka sambil mengacungkan kelewang di tangan. Mereka pun mulai berpantun dan mendendangkan syair-sayair kemenangan diselingi pekik-pekik peperangan. Tabuhan tibar ini kian lama akan kian cepat dan keras, begitu pula dengan gerak tubuh para penari. Terkadang para penari ini akan serempak berhenti bergerak sehingga menimbulkan keheningan yang spontan. Secara umum tarian ini tampak cantik, enerjik serta mampu membangkitkan bulu kuduk. Meski memakai alat musik yang sama, namun setiap klan memiliki iramanya sendiri-sendiri sehingga kita mampu mengenali klan mana yang tengah menari tanpa harus melihat.
0 Responses to Adat
tari-tarian timor lest
Tarian ini diawali dengan tabuhan tibar
salah seorang penari dan disusul oleh penari lain. Ketika kekompakan irama
telah dicapai maka mereka mulai meliuk-liukkan tubuh ke kiri dan kekanan,
terkadang sambil berjongkok dan membentuk formasi tertentu. Para penari pria
akan menghentakkan giring-giring kaki mereka sambil mengacungkan kelewang di
tangan. Mereka pun mulai berpantun dan mendendangkan syair-sayair kemenangan
diselingi pekik-pekik peperangan. Tabuhan tibar ini kian lama akan kian cepat
dan keras, begitu pula dengan gerak tubuh para penari. Terkadang para penari
ini akan serempak berhenti bergerak sehingga menimbulkan keheningan yang
spontan. Secara umum tarian ini tampak cantik, enerjik serta mampu
membangkitkan bulu kuduk. Meski memakai alat musik yang sama, namun setiap klan
memiliki iramanya sendiri-sendiri sehingga kita mampu mengenali klan mana yang
tengah menari tanpa harus melihat.
No comments:
Post a Comment